Friday, April 22, 2011

Kisah Ibu Bermata Satu


Oleh: Anymous

Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku membencinya...sungguh memalukan. Ia menjadi juru masak di sekolah, untuk membiayai keluarga.
Suatu hari ketika aku masih SD, ibuku datang ke kelasku. Aku sangat malu. Mengapa ia lakukan ini? Aku memandangnya dengan penuh kebencian dan pergi melarikan diri.

Keesokan harinya di sekolah...

"Ibumu hanya punya satu mata?!?!"....eeeeee, jerit seorang temanku. Mengolok olok diriku. Saat itu, Aku berharap ibuku lenyap dari muka bumi.

Ujarku pada ibu,
"Bu.... Mengapa Ibu tidak punya satu mata lainnya? Kalau Ibu hanya ingin membuatku ditertawakan, lebih baik Ibu mati saja!!!"

Ibuku tidak menyahut. Aku merasa agak tidak enak, tapi pada saat yang bersamaan, lega rasanya sudah mengungkapkan apa yang ingin sekali kukatakan selama ini... Mungkin karena Ibu tidak menghukumku, aku tidak berpikir sama sekali bahwa perasaannya sangat terluka karenaku.

Malam itu..
Aku terbangun dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku sedang menangis tanpa suara, seakan-akan ia khwatir aku akan terbangun karenanya. Aku memandangnya sejenak, dan kemudian berlalu. Mungkin akibat perkataanku tadi, hatinya tertusuk. Walaupun begitu, aku membenci ibuku yang sedang menangis dengan satu matanya. Jadi aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan tumbuh dewasa dan menjadi orang yang sukses.

Kemudian aku belajar dengan tekun. Kutinggalkan ibuku dan pergi ke Singapura untuk menuntut ilmu. Lalu aku pun menikah. Aku membeli rumah. Kemudian akupun memiliki anak.
Kini aku hidup dengan bahagia sebagai seorang yang sukses. Aku menyukai tempat tinggalku karena tidak membuatku teringat akan ibuku. Kebahagian ini bertambah terus dan terus.
Hingga suatu ketika..

Apa?! Siapa ini?! Itu ibuku...Masih dengan satu matanya. Seakan-akan langit runtuh menimpaku. Bahkan anak-anakku berlari ketakutan, ngeri melihat mata Ibuku.

Kataku,
"Siapa kamu?! Aku tak kenal dirimu!!"

Untuk membuatnya lebih dramatis, aku berteriak padanya,
"Berani-beraninya kamu datang ke sini dan menakuti anak-anakku!!"
"KELUAR DARI SINI! SEKARANG!!"

Ibuku hanya menjawab perlahan, "Oh, maaf. Sepertinya saya salah alamat," dan ia pun berlalu.
Untung saja...ia tidak mengenaliku. Aku sungguh lega. Aku tak peduli lagi. Akupun menjadi sangat lega...

Suatu hari, sepucuk surat undangan reuni sekolah tiba di rumahku di Singapura. Aku berbohong pada istriku bahwa aku ada urusan kantor. Akupun pergi ke sana.
Setelah reuni, aku mampir ke gubuk tua, yang dulu aku sebut rumah..
Hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu saja. Seperti apa tempat tinggal masa kecilku itu saat ini

Di sana, kutemukan ibuku tergeletak di lantai yang dingin. Namun aku tak meneteskan air mata sedikit pun. Aku melihat ada selembar kertas di tangannya.... Sepucuk surat untukku.

"Anakku..
Kurasa hidupku sudah cukup panjang..
Dan..aku tidak akan pergi ke Singapura lagi..
Namun apakah berlebihan jika aku ingin kau menjengukku sesekali? Aku sangat merindukanmu. Dan aku sangat gembira ketika tahu kau akan datang ke reuni itu. Tapi kuputuskan aku tidak pergi ke sekolah.

Demi kau..
Dan aku minta maaf karena hanya membuatmu malu dengan satu mataku.
Kau tahu, ketika kau masih sangat kecil, kau mengalami kecelakaan dan kehilangan satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tak tahan melihatmu tumbuh hanya dengan satu mata... Maka aku berikan mataku untukmu....
Aku sangat bangga padamu yang telah melihat seluruh dunia untukku, di tempatku, dengan mata itu. Aku tak pernah marah atas semua kelakuanmu. Ketika kau marah padaku.. Aku hanya membatin sendiri, "Itu karena ia mencintaiku..." Anakku... Oh, anakku..."



Pesan ini memiliki arti yang mendalam bahwa kebaikan yang saat ini kita nikmati adalah karena kebaikan orang lain secara langsung maupun tak langsung. Berhentilah sejenak dan renungi hidup kita! Bersyukurlah atas apa yang kita miliki sekarang dibandingkan apa yang tidak dimiliki oleh jutaan orang lain! Luangkan waktu untuk mendoakan ibu kita!

Wednesday, April 20, 2011

Arti kehidupan untuk seorang RA Kartini



Kehidupan dan sejarah Raden Ajeng Kartini merupakan kisah penuh tragedi. Bila kita menilik dan melihat sejarah yang pernah kita pelajari di waktu SD, SMP, dan SMU, itu sangat bertentangan dengan cita-cita murni Kartini. Bisa kita lihat, emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal bukan itu yang hendak dicapai Karini. Bila kita telusuri dan membaca artikel berikut, Kartini secara tersirat mengajak wanita Indonesia (khususnya wanita Jawa pada waktu itu) untuk belajar Al-Qur’an, baik cara membacanya, menghapalkannya, mengerti isinya, dan mengamalkannya.

Kartini dan Asal Usul

Kartini berasal dari keluarga Jawa, ayahnya RMAA Sosroningrat, merupakan Bupati Jepara. Kartini adalah anak ke5 dari 11 bersaudara, kandung dan tiri, sekaligus sebagai perempuan tertua. Kalangan Kartini adalah keluarga yang cerdas. Sang Kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjadi bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini mampu menguasai 26 bahasa yang terdiri dari 17 bahasa – bahasa negeri Timur dan 9 bahasa Barat. Waktu itu, walau termasuk ningrat, sekolah formal Kartini hanya sampai tingkat Sekolah Rendah. Walau demikian, Kartini termasuk anak yang cerdas dan berani. Dalam usia remaja, dia tak ragu memberi kritik dan saran kepada penguasa Hindia Belanda, salah satunya menuntut mereka agar kaum pribumi bisa menuntut ilmu setinggi – tingginya.

Kartini dan Al Qur’an
Sebagai anak dari keluarga bangsawan Jawa yang memluk Islam, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil guru ngaji ke rumah. Tapi, namanya guru ‘ngaji’ kala itu ternyata hanya menghafal surat- surat Al-Qur’an dalam bahasa Arab dan tidak disertai dengan terjemahannya. Kartini tidak bisa menerima hal tersebut. Dia menanyakan dari ayat – ayat yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, sang guru ngaji malah memaharinya. Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari Al-Qur’an asal jangan diterjemahkan.

Kartini sedih. Kepada sahabatnya, Stella, Kartini menulis surat, 6 November 1899:
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagipula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Disini orang diajar membaca Al Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibaca itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Unggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholehpun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?”

Kepada sahabat lainnya, E.E. Abendanon, Kartini menulis surat, 15 Agustus 1902:

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengeti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”

Dahaga Kartini mengenai Islam sedikit mulai terpuasi saat berkenalan dengan K.H. Mohammad Sholeh bin Umar yang sering disebut Kyai Sholeh Darat. Suatu hari, ketika Kartini bertamu kerumah pamannya, seorang bupati di Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain dari balik hijab. Saat itu Kyai Sholeh Darat, ulama besar asal Semarang, tengah menguraikan tafsir Al-Fatihah. Kartini sangat tertarik pada materi tersebut. Usai pengajian, Kartini mendesak pamannya agar mau menemaninya untuk menemui Kyai tersebut. Saat itu terjadi dialog antara Kartini dengan Kyai Sholeh Darat, seperti yang ditulis Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat:

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun mendengar pertanyaan Kartini,
Kyai balik bertanya,
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”


Tergugah dengan kritik itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menterjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Kartini saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903.

Kyai Sholeh Darat keburu meninggal pada tanggal 18 Desember 1903 pada saat baru menterjemahkan satu jilid tersebut. Kartini merasa sangat kehilangan gurunya itu. Namun dari informasi Ilahi yang tampaknya terbatas itu pun sudah cukup membuka pikiran Kartini mengenai Islam dan ajaran-ajarannya.

Salah satu hal yang memberikan kesan mendalam pada beliau adalah ketika membaca tafsir Surat Al-Baqarah. Dari situlah tercetus kata-kata beliau dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Tot Licht. Ungkapan itu sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yaitu Minadz Dzulumaati IlanNuur yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257. Oleh Armijn Pane, ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu atau Indonesia sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang. Padahal jika berangkat dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala tersebut lebih tepat dimaknai sebagai Dari Kegelapan Menuju Cahaya, yang dapat ditafsirkan sebagai ”dari pemikiran yang tak terarah menuju pemikiran yang dilandasi hidayah Iman dan Islam”.

Petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 257 tersebut sebenarnya untuk menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang yang mendapat hidayah Iman dan Islam, di mana dia mendapatkan informasi yang sangat terang dan masuk dalam kalbunya mengenai kebenaran yang hakiki dari Tuhannya. Kondisi seperti itulah yang dialami oleh Kartini menjelang akhir hidupnya.

Dalam fase pertama, yaitu fase pra-hidayah, Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya. Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon suami.
Namun di lain pihak Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam fase ini Kartini juga mengajukan kritik dan saran kepada Pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam fase kedua, yaitu selama dan pasca mendapatkan hidayah, beliau mendapat pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.

“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai“ [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].

Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Kartini menulis:”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. “ [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Pikiran beliau ini mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada waktu fase sebelum hidayah, yang lebih mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. Kartini menulis: “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. “ [Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899].

Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap Barat yang tadinya dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan contoh. Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902].

Dan yang lebih penting lagi, beliau menjadi sadar terhadap upaya kristenisasi secara terselubung yang dilakukan oleh teman-temannya. Kartini menulis, “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi?… Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 31 Januari 1903].

Hindia Belanda dan Yahudi

Diam – diam, Hindia Belanda mengirim orang – orang Yahudi dan Nasrani kepada Kartini agar mampu mengarahkannya agar tidak menjadi kritis, apalagi tumbuh menjadi pemimpin umat. Ini yang tidak diinginkan Belanda. Orang – orang ini adalah:

1. J.H. Abendanon dan E.E. Abendanon

Dia Tiba di Hindia Belanda pada 1900 dengan tugas melaksanakan Politik Etis. Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda ini sahabat dekat Snouck Hurgronje. Bersama Hurgronje, Abendanon melancarkan Politik Asosiasi, agar generasi muda Islam mengidentifikasikan dirinya dengan Barat. Menurut mereka, Umat Islam-lah yang paling keras permusuhannya terhadap penjajahan. Sebab itu, Generasi muda pribumi harus diBaratkan, yang harus dimulai dari kalangan ningrat. Hurgronje menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini. Dengan misi itulah Abendanon membina hubungan baik dengan Kartini.

2. Dr. Adriani
Seorang pendeta sahabat Abendanon yang diperkenalkan kepada Kartini sewaktu Kartini diundang di Batavia.

3. Annie Glasser
Seorang tangan kanan Abendanon yang disusupkan ke Jepara sebagai guru Bahasa Perancis Kartini. Dia tidak dibayar asalkan bisa berhubungan dekat dengan Kartini.

4. Stella (Estelle Zeehandelaar)
Seorang perempuan Yahudi Belanda yang berhalauan feminis militan. Dia bersahabat dengan tokoh sosialis, Ir. Van Kol, wakil ketua SDAQ (Partai Sosialis Belanda) di Tweede Kamer (Parlemen).

5. Nellie Van Kol
Seorang penulis humanisme progresif yang paling berperan dalam mendangkalkan aqidah Kartini. Awalnya, dia ingin mengkristenkan Kartini, namun gagal secara formal. Walau demikian banyak pemikiran Kristen yang sedikit banyak mempengaruhi Kartini, sepert suratnya tertanggal 12 Juli 1902 kepada Ny. Ovink Soer: “Malaikat yang baik berterbangan di sekeliling saya dan Bapak yang ada di langit membantu saya dalam perjuangan saya dengan bapakku yang ada di dunia ini.” Atau, “Nyonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Yesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengar semua itu.” (Surat kepada Dr.Adriani, 5 Juli 1902)

Sumber: Eramuslim digest, edisi koleksi 10, dengan ubahan seperlunya.

Monday, April 18, 2011

Memilih Sekolah Untuk Buah Hati = Agenda Sangat Penting

Seorang gadis kecil telah rapi dengan seragam sekolahnya, rambutnya pun ikut rapi dikuncir dua. Hari itu hari pertamanya masuk sekolah, Taman Kanak-Kanak. Gembira hatinya bukan kepalang, semua yang indah terbayang olehnya. Kata ibu, di sekolah akan ada berbagai mainan yang tak ia miliki di rumah, ada teman-teman baru yang akan bermain dengannya, ada ibu Guru baik hati yang sayang padanya, yang akan menjadi pengganti ibu di rumah.

Si gadis kecil berangkat penuh suka cita bersama sang ayah. Naik sepeda motor dibonceng di depan. Tak berhenti ia menyanyi riang sepanjang jalan. Ayahnya pun merasa bahagia. Tak lagi dipikirkan tabungannya yang habis untuk biaya masuk sekolah sang anak, karena telah dipilihnya sekolah yang terbaik, untuk buah hati tercinta.

Ah benar kata ibu… Mainan bagus-bagus lengkap tersedia di sekolah, teman-teman baru yang lucu, dan ruangan kelas yang indah, warna-warni penuh gambar dan tulisan di dindingnya. Dibacanya satu persatu tulisan di dinding kelas. Ya, dia gemar membaca. Di umurnya yang baru lima tahun ia telah pandai membaca karena ajaran sang ibu di rumah. Ooh..Tulisan di dinding kelas ternyata doa-doa, gumamnya dalam hati. Doa-doa yang selama ini diajarkan ibunya, tapi banyak yang belum dia hafal… “Aku mau menghafalnya, ibu pasti senang.” ujarnya riang.

Tiba-tiba terdengar teriakan keras, "Hei kamu!” Gadis kecil itu menoleh ke arah suara keras. "Ya, kamu yang kuncir dua! Kalo Ibu Guru lagi ngomong di depan kelas dengerin! Kamu malah liat-liat ke dinding terus!" Suara keras sang Guru menghardik anak gadis itu menggema di ruang kelas. Hancur hati anak itu.. Ingin ia lari menangis pulang ke rumah, memeluk ibunya. "Ibu… Tak ada ibu guru baik hati yang seperti ibu bilang… Ibu, aku tak suka sekolah…"

Gadis kecil itu adalah saya. Itulah kenangan hari pertama sekolah yang menyisakan luka. Kelembutan. Sifat lembut yang dibutuhkan seorang murid dari gurunya, bukan sikap keras yang membuatmurid takut dan kecewa…Guru adalah pendidik, gurulah yang mendapat amanah, kepercayaan penuh dari orang tua untuk mendidik anaknya di sekolah… Ah tapi mengapa sifat lembut ini jarang saya temui pada guru semasa sekolah… Para guru seringkali bersikap kasar, ingin murid takut dan menuruti segala perintahnya.Tak jarang hukuman fisik diberikan guru bagi mereka yang melanggar perintah. Apalah daya si anak, posisinya sebagai murid tak mungkin memberi perlawanan kepada gurunya… Hukuman fisik membuat anak semakin takut pada guru, yang membuatnya semakin menjauh dari guru...

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha lembut mencintai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan hal yang tidak Dia berikan kepada kekerasan dan Dia tidak berikan kepada yang lainnya. Barang siapa yang tidak diberikan kelembutan tidak akan diberikan kebaikan.”

Saya beruntung memiliki ibu yang mendidik saya dengan penuh kelembutan. Sungguh, kenangan terindah masa anak-anak saya adalah kenangan bersama ibu yang penuh kelembutan. Tak pernah ada nada-nada tinggi di suara ibu, tak ada cubitan, tak ada pukulan. Semua hal dihadapi ibu dengan lembut. karenanya kami, empat anaknya menjadi sangat dekat dengan ibu. Tak canggung semua masalah kami ceritakan kepada ibu, curhat hanya kepada ibu seorang, karena kami tahu ibu akan mendengarkan kami, membantu menyelesaikan masalah kami dengan sifat lembutnya. Insya Allah sifat lembut ibu menjadi teladan untukku dalam mendidik kedua buah hatiku.

Duhai para pendidik, bersikap lembutlah kepada anak didikmu, sikap kasar dan keras hanya akan membuat anak didikmu semakin jauh darimu, semakin melanggar aturanmu, membuat luka di hati mereka… Tak inginkah Engkau dikenang oleh anak didikmu dengan kenangan yang indah bersamamu, bukan dikenang sebagai kenangan pahit yang menyisakan luka… Semoga potret pendidik masa kini tak lagi seperti dulu, seperti yang pernah saya alami.

Terngiang kembali sebuah lagu yang dulu sering saya nyanyikan bersama kawan-kawan, syairnya begitu indah, lagu hymne Guru... "Terpujilah wahai Engkau Ibu Bapak Guru…Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku…Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku…"

Wallohu’alam bisshowaab.

Bangkok, 24 Februari 2011.

(http://www.eramuslim.com/oase-iman/silvani-bersikap-lembut.htm)

Saturday, April 16, 2011

Hati Seorang Ayah...

By Anymous


Suatu ketika, ada seorang anak wanita bertanya kepada ayahnya, tatkala tanpa sengaja dia melihat ayahnya sedang mengusap wajahnya yang mulai berkerut-merut dengan badannya yang terbungkuk-bungkuk, disertai suara batuk-batuknya.
Anak wanita itu bertanya pada ayahnya: Ayah , mengapa wajah ayah kian berkerut-merut dengan badan ayah yang kian hari kian terbungkuk?”
Demikian pertanyaannya, ketika ayahnya sedang santai di beranda.

Ayahnya menjawab : “Sebab aku laki-laki.” Anak wanita itu berguman : ” Aku tidak mengerti.”

Dengan kerut-kening karena jawaban ayahnya membuatnya tercenung rasa penasaran. Ayahnya hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anak wanita itu, terus menepuk nepuk bahunya, kemudian ayahnya mengatakan :
“Anakku, kamu memang belum mengerti tentang laki-laki.”
Demikian bisik ayahnya, membuat anak wanita itu tambah kebingungan.

Karena penasaran, kemudian anak wanita itu menghampiri ibunya lalu bertanya :
“Ibu mengapa wajah ayah menjadi berkerut-merut dan badannya kian hari kian terbungkuk? Dan sepertinya ayah menjadi demikian tanpa ada keluhan dan rasa sakit?”

Ibunya menjawab : “Anakku, jika seorang laki-laki yang benar benar bertanggung jawab terhadap keluarga itu memang akan demikian.” Hanya itu jawaban sang bunda.

Anak wanita itupun kemudian tumbuh menjadi dewasa, tetapi dia tetap saja penasaran.

Hingga pada suatu malam, anak wanita itu bermimpi.
Di dalam mimpi itu seolah-olah dia mendengar suara yang sangat lembut, namun jelas
sekali. Dan kata-kata yang terdengar dengan jelas itu ternyata suatu rangkaian kalimat sebagai jawaban rasa penasarannya selama ini.


“Saat Ku-ciptakan laki-laki, aku membuatnya sebagai pemimpin keluarga serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia senantiasa akan menahan setiap ujungnya, agar keluarganya merasa aman teduh dan terlindungi. “

“Kuciptakan bahunya yang kekar & berotot untuk membanting tulang menghidupi seluruh keluarganya & kegagahannya harus cukup kuat pula untuk melindungi seluruh keluarganya. “

“Kuberikan kemauan padanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yang berasal dari tetesan keringatnya sendiri yang halal dan bersih, agar keluarganya tidak terlantar, walaupun seringkali dia mendapatkan cercaan dari anak-anaknya. “

“Kuberikan keperkasaan & mental baja yang akan membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya basah kuyup kedinginan karena tersiram hujan dan hembusan angin, dia relakan tenaga perkasanya terkuras demi keluarganya & yang selalu
dia ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil dari jerih payahnya.”

“Kuberikan kesabaran, ketekunan serta keuletan yang akan membuat dirinya selalu berusaha merawat & membimbing keluarganya tanpa adanya keluh kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerap kali menyerangnya. “

“Kuberikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha berjuang demi mencintai & mengasihi keluarganya, didalam kondisi & situasi apapun juga, walaupun tidaklah jarang anak-anaknya melukai perasaannya melukai hatinya.
Padahal perasaannya itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana anak-anaknya tertidur lelap.
Serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling menyayangi & mengasihi sesama saudara.”

“Kuberikan kebijaksanaan & kemampuan padanya untuk memberikan pengetahuan padanya untuk memberikan pengetahuan & menyadarkan, bahwa istri yang baik adalah istri yang setia terhadap suaminya, istri yang baik adalah istri yang senantiasa menemani. & bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka maupun duka.
Walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada Istri, agar tetap berdiri, bertahan, sejajar & saling melengkapi serta saling menyayangi.”

“Kuberikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti bahwa laki-laki itu senantiasa berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari & menemukan cara agar keluarganya bisa hidup di dalam keluarga bahagia.
Dan badannya yang terbungkuk agar dapat membuktikan, bahwa sebagai laki-laki yang bertanggung jawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya, keuletannya demi kelangsungan hidup keluarganya.”

“Kuberikan kepada laki-laki tanggung jawab penuh sebagai pemimpin keluarga, sebagai tiang penyangga, agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki, walaupun sebenarnya tanggung jawab ini adalah amanah di Dunia & Akhirat.”

Terbangun anak wanita itu, dan segera dia berlari, berlutut & berdoa hingga menjelang subuh.
Setelah itu dia hampiri kamar ayahnya yang sedang berdoa, ketika ayahnya berdiri anak wanita itu merengkuh dan mencium telapak tangan ayahnya.
” Aku mendengar & merasakan bebanmu, ayah…”

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu agung, tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan ayah…

With love to all father ” Jika kamu mencintai ayahmu – sekarang merasa sebagai seorang ayah kirimlah cerita ini kepada orang lain, agar seluruh orang di dunia ini dapat mencintai & menyayangi ayahnya & dan mencintai kita sebagai seorang ayah.

Berbahagialah yang masih memiliki ayah.
Dan lakukanlah yang terbaik untuknya…

Berbahagialah yang merasa sebagai ayah.
Dan lakukanlah yang terbaik untuk keluarga kita…