Wednesday, April 20, 2011

Arti kehidupan untuk seorang RA Kartini



Kehidupan dan sejarah Raden Ajeng Kartini merupakan kisah penuh tragedi. Bila kita menilik dan melihat sejarah yang pernah kita pelajari di waktu SD, SMP, dan SMU, itu sangat bertentangan dengan cita-cita murni Kartini. Bisa kita lihat, emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal bukan itu yang hendak dicapai Karini. Bila kita telusuri dan membaca artikel berikut, Kartini secara tersirat mengajak wanita Indonesia (khususnya wanita Jawa pada waktu itu) untuk belajar Al-Qur’an, baik cara membacanya, menghapalkannya, mengerti isinya, dan mengamalkannya.

Kartini dan Asal Usul

Kartini berasal dari keluarga Jawa, ayahnya RMAA Sosroningrat, merupakan Bupati Jepara. Kartini adalah anak ke5 dari 11 bersaudara, kandung dan tiri, sekaligus sebagai perempuan tertua. Kalangan Kartini adalah keluarga yang cerdas. Sang Kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjadi bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini mampu menguasai 26 bahasa yang terdiri dari 17 bahasa – bahasa negeri Timur dan 9 bahasa Barat. Waktu itu, walau termasuk ningrat, sekolah formal Kartini hanya sampai tingkat Sekolah Rendah. Walau demikian, Kartini termasuk anak yang cerdas dan berani. Dalam usia remaja, dia tak ragu memberi kritik dan saran kepada penguasa Hindia Belanda, salah satunya menuntut mereka agar kaum pribumi bisa menuntut ilmu setinggi – tingginya.

Kartini dan Al Qur’an
Sebagai anak dari keluarga bangsawan Jawa yang memluk Islam, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil guru ngaji ke rumah. Tapi, namanya guru ‘ngaji’ kala itu ternyata hanya menghafal surat- surat Al-Qur’an dalam bahasa Arab dan tidak disertai dengan terjemahannya. Kartini tidak bisa menerima hal tersebut. Dia menanyakan dari ayat – ayat yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, sang guru ngaji malah memaharinya. Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari Al-Qur’an asal jangan diterjemahkan.

Kartini sedih. Kepada sahabatnya, Stella, Kartini menulis surat, 6 November 1899:
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagipula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Disini orang diajar membaca Al Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibaca itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Unggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholehpun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?”

Kepada sahabat lainnya, E.E. Abendanon, Kartini menulis surat, 15 Agustus 1902:

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengeti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”

Dahaga Kartini mengenai Islam sedikit mulai terpuasi saat berkenalan dengan K.H. Mohammad Sholeh bin Umar yang sering disebut Kyai Sholeh Darat. Suatu hari, ketika Kartini bertamu kerumah pamannya, seorang bupati di Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain dari balik hijab. Saat itu Kyai Sholeh Darat, ulama besar asal Semarang, tengah menguraikan tafsir Al-Fatihah. Kartini sangat tertarik pada materi tersebut. Usai pengajian, Kartini mendesak pamannya agar mau menemaninya untuk menemui Kyai tersebut. Saat itu terjadi dialog antara Kartini dengan Kyai Sholeh Darat, seperti yang ditulis Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat:

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun mendengar pertanyaan Kartini,
Kyai balik bertanya,
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”


Tergugah dengan kritik itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menterjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Kartini saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903.

Kyai Sholeh Darat keburu meninggal pada tanggal 18 Desember 1903 pada saat baru menterjemahkan satu jilid tersebut. Kartini merasa sangat kehilangan gurunya itu. Namun dari informasi Ilahi yang tampaknya terbatas itu pun sudah cukup membuka pikiran Kartini mengenai Islam dan ajaran-ajarannya.

Salah satu hal yang memberikan kesan mendalam pada beliau adalah ketika membaca tafsir Surat Al-Baqarah. Dari situlah tercetus kata-kata beliau dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Tot Licht. Ungkapan itu sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yaitu Minadz Dzulumaati IlanNuur yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257. Oleh Armijn Pane, ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu atau Indonesia sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang. Padahal jika berangkat dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala tersebut lebih tepat dimaknai sebagai Dari Kegelapan Menuju Cahaya, yang dapat ditafsirkan sebagai ”dari pemikiran yang tak terarah menuju pemikiran yang dilandasi hidayah Iman dan Islam”.

Petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 257 tersebut sebenarnya untuk menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang yang mendapat hidayah Iman dan Islam, di mana dia mendapatkan informasi yang sangat terang dan masuk dalam kalbunya mengenai kebenaran yang hakiki dari Tuhannya. Kondisi seperti itulah yang dialami oleh Kartini menjelang akhir hidupnya.

Dalam fase pertama, yaitu fase pra-hidayah, Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya. Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon suami.
Namun di lain pihak Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam fase ini Kartini juga mengajukan kritik dan saran kepada Pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam fase kedua, yaitu selama dan pasca mendapatkan hidayah, beliau mendapat pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.

“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai“ [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].

Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Kartini menulis:”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. “ [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Pikiran beliau ini mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada waktu fase sebelum hidayah, yang lebih mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. Kartini menulis: “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. “ [Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899].

Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap Barat yang tadinya dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan contoh. Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902].

Dan yang lebih penting lagi, beliau menjadi sadar terhadap upaya kristenisasi secara terselubung yang dilakukan oleh teman-temannya. Kartini menulis, “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi?… Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 31 Januari 1903].

Hindia Belanda dan Yahudi

Diam – diam, Hindia Belanda mengirim orang – orang Yahudi dan Nasrani kepada Kartini agar mampu mengarahkannya agar tidak menjadi kritis, apalagi tumbuh menjadi pemimpin umat. Ini yang tidak diinginkan Belanda. Orang – orang ini adalah:

1. J.H. Abendanon dan E.E. Abendanon

Dia Tiba di Hindia Belanda pada 1900 dengan tugas melaksanakan Politik Etis. Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda ini sahabat dekat Snouck Hurgronje. Bersama Hurgronje, Abendanon melancarkan Politik Asosiasi, agar generasi muda Islam mengidentifikasikan dirinya dengan Barat. Menurut mereka, Umat Islam-lah yang paling keras permusuhannya terhadap penjajahan. Sebab itu, Generasi muda pribumi harus diBaratkan, yang harus dimulai dari kalangan ningrat. Hurgronje menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini. Dengan misi itulah Abendanon membina hubungan baik dengan Kartini.

2. Dr. Adriani
Seorang pendeta sahabat Abendanon yang diperkenalkan kepada Kartini sewaktu Kartini diundang di Batavia.

3. Annie Glasser
Seorang tangan kanan Abendanon yang disusupkan ke Jepara sebagai guru Bahasa Perancis Kartini. Dia tidak dibayar asalkan bisa berhubungan dekat dengan Kartini.

4. Stella (Estelle Zeehandelaar)
Seorang perempuan Yahudi Belanda yang berhalauan feminis militan. Dia bersahabat dengan tokoh sosialis, Ir. Van Kol, wakil ketua SDAQ (Partai Sosialis Belanda) di Tweede Kamer (Parlemen).

5. Nellie Van Kol
Seorang penulis humanisme progresif yang paling berperan dalam mendangkalkan aqidah Kartini. Awalnya, dia ingin mengkristenkan Kartini, namun gagal secara formal. Walau demikian banyak pemikiran Kristen yang sedikit banyak mempengaruhi Kartini, sepert suratnya tertanggal 12 Juli 1902 kepada Ny. Ovink Soer: “Malaikat yang baik berterbangan di sekeliling saya dan Bapak yang ada di langit membantu saya dalam perjuangan saya dengan bapakku yang ada di dunia ini.” Atau, “Nyonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Yesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengar semua itu.” (Surat kepada Dr.Adriani, 5 Juli 1902)

Sumber: Eramuslim digest, edisi koleksi 10, dengan ubahan seperlunya.

No comments:

Post a Comment